Jumat, 23 April 2010

Cerpen

BLANK

“kita sampai di sini saja. Bukan lelaki sepertimu yang aku cari.” Bian berbisik lirih tanpa berani menatap wajah membeku di depannya. Tangannya terkepal kuat menahan detak jantungnya yang berdetak kencang mencoba menggoyahkan irama dalam suaranya. Kelopak matanya luruh ke bawah menahan tetesan hujan yang mungkin akan turun melewati lereng pipinya. Kakinya gemetar menopang tubuhnya yang tidak sanggup lagi untuk berdiri disamping lelaki itu.

Ben, lelaki yang masih berdiri kaku di sampingnya, melayangkan pandangannya ke arah jalanan yang tetap ramai dilewati kendaraan yang berlalu lalang tanpa henti. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Garis keras di rahangnya masih tetap pada bentuk semula tanpa ada tanda-tanda bahwa ia akan bicara. Ia masih menunggu apalagi yang akan di sampaikan oleh gadisnya. Gadis yang sebentar lagi harus ia lepaskan.

“mungkin akan lebih baik jika kita mencari jalan hidup kita masing-masing. Aku takkan ikuti alurmu lagi, begitu pun engkau jangan lagi ikuti alurku.” Dengan gemetar tangannya meraih jemari tangan Ben. Ada rasa sakit tergores di hatinya. Sungguh jika bicara masalah cinta ia tak tega untuk menyakiti hati lelaki di sampingnya. Lelaki yang sejujurnya sangat ia sayangi. Tapi ia tahu meninggalkan lelaki inilah jalan terbaik untuknya. Inilah jalan hidupnya.dan ia juga yakin Ben akan menemukan orang yang lebih baik darinya. “Maafkan aku...” Bian berbisik tanpa daya. Ia meremas tangan lelaki yang masih berdiri membeku tanpa mau menatapnya. Matanya terpaku pada wajah lelaki di sampingnya. Sebentar lagi ia takkan menyaksikan wajah sempurna di sampingnya. Ia tak lagi boleh menyentil hidung mancung lelaki ini, dan ia takkan lagi tertawa bersama laki-laki ini. Bian menghapus tetes air mata yang mulai bergulir di pipinya. Kemudian melepaskan tangan ben dan beranjak pergi meninggalkannya.

Sesaat tubuh Ben mengejang kemudian bagai terbangun dari tidur panjang ia meraih lengan Bian. “Kenapa Bi..?”

“Kamu tahu jawabannya Ben...” jawab Bian tanpa menoleh. Kemudian menyentakkan lengannya dan melangkah pergi.

Hoam... Aku mengucek mataku yang sinarnya hanya tinggal lima watt. Kulirik jam weker di samping meja belajarku. Waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB, sudah larut malam ternyata. Kemudian pandanganku beralih pada layar komputer yang masih menyala di depanku. Ini yang paling aku benci dalam menulis. Kalau nggak mati ide ya

kebanyakan ide. Jadi bingung memilih mana yang akan di tulis. Belum lagi pemilihan kata-kata yang terkadang serasa kurang pas.

Sebenarnya tugas ini sudah dari minggu lalu di berikan oleh Bapak Sukino dosen matak kuliah menulis Kreatif di kampusku. Akan tetapi sama seperti mahasiswa masa kini lainnya, yang mengerjakan tugas kuliah secara SKS alias Sistem Kebut Semalam, aku pun melakukan hal yang sama. Alhasil enam hari belakang aku menghabiskan waktu luangku dengan hanya bermain-main dan berkhayal tak tentu arah, dan di hari yang ketujuh aku keteteran mengerjakan tugas yang menumpuk.

Sebenarnya ini salahku sendiri terlalu menyepelekan tugas-tugas yang ada, terlalu menganggap enteng semua hal. Akibatnya malam ini mataku harus ekstra kuat menatap layar komputer yang terus berkedap-kedip meminta aku menuliskan rangkaian kata-kata pada program microsoft wordnya. Jika enam hari yang lalu aku tidur malam karena begadang dengan teman-temanku, maka malam ini mataku kembali begadang dengan komputer butut ini.

Hoam...lagi-lagi aku menguap. Suasana malam yang sepi ditambah dinginnya malam membuat aku semakin mengantuk. Kriuk..kriuk... Aku mendengar kokok ayam berbunyi nyaring dari dalam perutku. Astaga... Aku baru ingat kalau dari pagi tadi aku sama sekali belum makan sedikit pun. Dengan lunglai aku melangkah ke arah majic com terletak di sudut kiri kamarku. Tanganku meraih piring di rak mini di samping majic com. Kemudian dengan tak sabar membuka tutup majic, “oh tidak…” Tak ada sebutir nasi pun di sana. bukankah dari pagi tadi aku cuma duduk di depan komputer dan sama sekali tidak melakukan kegiatan yang lain selain dari menggerakkan keyboard dan mouse.

Aku mengucek-ucek mataku dengan tangan untuk menghilangkan kantuk yang melanda. Buku-buku berserakan di atas meja, kasur, dan lantai. Baju-baju kotor masih teronggok di sudut kamar, benar-benar seperti kapal pecah. Kriuk..kriuk… Perutku kembali berbunyi. Tanganku meraih cangkir lalu menyeduh segelas kopi. Lumayan untuk menghilangkan kantuk. Kemudian aku membuka kantung plastik yang tergantung di dinding kamar. Didalamnya kutemukan sebungkus indomie goreng, cukup sebagai pengganjal perut untuk sementara pikirku.

Dengan segelas kopi ditangan kanan dan sebungkus indomie mentah di tangan kiri aku kembali duduk di depan komputer. Semangat Leo...! aku menyemangati diriku sendiri. Dulu Apollo waktu pegi ke bulan juga hanya mengkonsumsi mie mentah. Dan dia bisa menaklukkan dunia. Slrup....aku menghirup cangkir berisi kopi. Kemudian kembali fokus ke komputer di depanku. Semangat...!

...“Seandainya aku terlahir sempurna mungkin aku tidak akan meninggalkanmu.“

Bian menggumam dalam hati. Hanya tuhan saja yang tahu betapa tersiksanya dia harus meninggalkan Ben. Satu-satunya lelaki yang mampu membuatnya bahagia dan satu-satunya lelaki yang mampu menghentikan pelayarannya selama ini. Di hati Ben lah ia berlabuh dengan lama. Bahkan seandainya ia bisa ingin selamanya ia berlabuh di hati lelaki yang memberikannya sejuta cinta.

Tapi seperti kapal, ada saatnya berlabuh ada saatnya berlayar. Pelabuhan ini hanya sementara, karena setiap saat ia harus siap berlayar kapan pun nahkoda menginginkannya. Dan sekarang nahkoda mengharuskannya untuk meninggalkan Ben. Berlayar dari hatinya dan bertolak di pelabuhan cinta itu. hidup itu penuh realitas yang menyakitkan. Untuk meraih cita-citanya ia harus realistis. Jangan sampai cintanya mengorbankan cita-cita yang telah ia perjuangkan sejak dahulu. Meninggalkan Ben bukanlah hal berat jika dibandingkan ia tidak bisa meraih impiannya. Akan ada pelabuhan yang lebih dari segalanya dibandingkan Ben. Walaupun mungkin tak seindah kilau cinta Ben.

Berlabuh pada lelaki baru yang sanggup memberikan semua yang ia minta. Membayar uang kuliah, makan dan hidupnya. Itulah yang ia cari dari lelaki di muka bumi ini. Cinta adalah hal terakhir yang ia butuhkan. Di kehidupan sekarang cinta bukanlah segalanya, tetapi uang lah yang menduduki peringkat utama dalam hidupnya. dan tentu saja lelaki itu bukan Ben. Ben tidak cukup kaya untuk semua itu. ben bisa membelikannya buku-buku pelajaran, tapi Ben tidak akan sanggup untuk ikut membiayai kuliah dan hidupnya. ia tahu itu. Ben tidak cukup kaya untuk semua itu. dan di balik semua itu ia tidak tega untuk terus-terusan menjadikannya yang kedua. Terus menancapkan belati di hati lelaki yang terlalu baik dan mengerti dia. Ia tak sanggup bersama lelaki lain dan membiarkan Ben menunggunya meluangkan sedikit waktu bahagia bersamanya. Cukup. Cukup sudah lelaki itu terluka karena menunggunya.

Seandainya ia bisa memilih, Ben lah pilihan hidupnya. tapi jalan ini masih panjang. Ia tak mau mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh Ibunya di masa lalu. Karena memilih lelaki yang dicintai Ibunya menderita, ibunya hidup sudah dan ibunya menularkan derita itu padanya. Ia harus sukses. Bahkan dengan kemiskinan yang melandanya. Untuk itu ia harus menjerat para lelaki kaya yang bersedia membiayai hidupnya.

Melepaskan Ben sungguh keputusan terberat yang telah ia ambil. Tapi apa lagi pilihan yang bisa diambilnya. Jika sejak ia duduk di bangku SMA inilah pilihan yang telah ia ambil untuk terus bisa melanjutkan pendidikannya. Tak ada yang peduli padanya kecuali para lelaki kaya yang mampu ia jerat. Yang bisa memberikannya uang..uang..dan uang...

Malam semakin larut, tanganku masih terus menekan tuts-tuts di papan keyboard. Rasanya waktu 24 jam saat ini kurang. Ternyata menulis cerpen itu tidak mudah. Sulit...sangat....aku menggerutu dengan kosa kata yang terbalik. Uy... Payah sangat... Belum lagi menahan rasa kantuk yang terus menyerang. Seandainya tugas ini aku kerjakan dari beberapa hari yang lalu, mungkin sekarang aku tidak akan sepanik ini. Mungkin malam ini aku sudah bisa tidur dengan nyenyak ditemani boneka beruang kesayanganku.

Menulis itu adalah panggilan jiwa. Tidak setiap saat kita bisa menulis. Menurut Zawawi Imron salah seorang penyair yang pernah aku baca literaturnya menulis itu merupakan panggilan jiwa. Yang terpenting dalam menulis itu adalah kejujuran. Kejujuran yang bernilai estetik sehingga tulisan akan indah dan hidup. Ia tidak akan menulis jika tidak ada getaran batin dalam hatinya. Ia hanya akan menulis apa yang ia rasakan. Dan sejujurnya aku sendiri tidak terlalu mengerti maksud dari kata-kata penyair Zawawi Imron. Yang aku tahu saat ini aku benar-benar lelah, lapar dan kantuk menjadi satu dan aku harus mampu merangkai kata-kata menjadi sebuah cerita malam ini juga. Kalau tidak aku akan masuk ke dalam daftar yang akan mendapatkan kopi pagi dari Bapak Kino selaku dosen mata kuliah Menulis Kreatif.

Walaupun menulis membutuhkan kejujuran estetik dan aku tahu saat ini aku benar-benar tidak memiliki minat untuk menulis tapi aku harus terus menulis, menulis dan menulis minimal tiga halaman. Setidaknya aku telah berusaha untuk tidak mencopi paste karya penulis lain. Dengan semua keterbatasan yang kumiliki aku terus berusaha mengerjakan sendiri. Walaupun alur dari cerita yang kutulis ini benar-benar tidak jelas.

Sejenak aku berhenti menekan papan keyboard di depanku. Aku menggerak-gerakkan kedua tanganku kekiri dan kekanan untuk menghilangkan pegal-pegal. Kemudian berdiri dan menggeliat sebentar menghilangkan kaku di seluruh tubuhku. Tanganku meraih cangkir kopi di atas meja. Ternyata sudah dingin. Karena malas bergerak aku minum saja kopi dingin itu. Lumayan untuk menghilangkan haus.

“Sudah Cukup Ben...Jangan buat semuanya semakin rumit. “ Bian menatap laki-laki di depannya. “Bi aja bisa ninggalin kamu, masa kamu nggak bisa…” lanjutnya lagi.

“aku sayang kamu Bi. Dan selamanya aku nggak akan ninggalin kamu sendiri. Aku tahu kamu butuh aku. Kamu perlu aku untuk menyempurnakan hidup kamu.” Ben menarik tubuh Bian dan mendekapnya penuh rasa sayang. Tangan kokohnya enggan untuk melepaskan gadisnya. Gadis yang terlanjur ia cintai dengan setulus jiwa. Mata kuyunya menatap penuh harapan pada gadis itu.

“Bi nggak bisa Ben. Bi butuh uang buat kuliah, buat makan, dan Bian nggak mau semua itu akan jadi beban buat Kamu. Bi nggak mau kamu terus nunggu Bian, terus bersabar untuk Bian. Bi nggak mau kamu terluka.” Bian mencoba untuk melepaskan dirinya dari dekapan tangan Ben.“Cuma para lelaki hidung belang yang bisa berikan semua itu buat Bian. Bi tahu jalan yang Bi pilih salah, tapi Bi tak punya daya untuk pergi dari jalan yang salah itu. Bi nggak mau nyakitin kamu terlalu dalam. Karena kamu bukan lelaki yang bisa berikan apa yang Bi butuhkan. Cinta kamu terlalu suci untuk orang seperti Bian“ gadis itu berbisik lirih. Pipinya yang putih merona kemerahan menahan genangan air mata yang mulai merembes keluar.

Ben diam. Bian juga diam. Ia menikmati dekapan Ben padanya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Biarkan ia menikmati hangatnya cinta lelaki ini untuk terakhir kalinya. Lelaki yang mau menerima dia apa adanya disaat semua orang mencemoohnya. Lelaki yang tetap berdiri disampingnya meskipun tahu apa profesi sampingannya selain jadi mahasiswa. Lelaki yang percaya cinta itu milik semua orang.

Ia tidak munafik. Ia sangat menikmati kehadiran Ben disampingnya. Keangkuhannya luntur sejak lelaki itu di sampingnya. Rasa rendah diri karena apa yang digelutinya selama ini adalah hal yang hina mulai menghilang sejak lelaki itu ada disisinya. Tapi semakin lama bersama Ben, ia semakin merasa bersalah. Ia tahu walaupun Ben tak pernah berkata apa-apa tap ia tahu kalau lelaki itu terluka di saat ia bersama lelaki lain. Bayangkan, lelaki mana yang rela melihat kekasihnya bersama orang lain, dan bahkan mungkin melakukan sesuatu di balik kegelapan malam. Semua itu pasti terasa sangat menyakitkan.

Terlalu egois jika ia tetap bertahan di samping Ben. Lelaki itu berhak mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Dan itu bukan bersamanya. Seperti ia yang tidak butuh Ben jika itu menyangkut materi yang ia cari ia membutuhkan lelaki lain. Ia membutuhkan lelaki yang bergelimang harta yang bisa memberinya kehidupan.

Hoam...waktu menunjukkan pukul 04.00 WIB menjelang dini hari. Sholat subuh, maghrib, dzuhur, hingga isya semuanya bolong. Aku benar-benar kelelahan. Lambungku terasa perih. Aku menyusuri baris-baris tulisanku di komputer. Oh my god, apa yang dari tadi kutulis. Benar-benar sebuah cerita yang memalukan. Mirip seperti kisah cinta di sinetron-sinetron yang sering ku saksikan di SCTV. Atau mungkin aku memang terobsesi dari salah satu kisahnya. Cerita yang sama persis dengan roman-roman yang sering kubaca. Tak ada nilai sosialnya sedikit pun. Dan cerita ini belum selesai. Aku kebingungan untuk menentukan endingnya. Happy endingkah, sad endingkah, atau...

Hoam...aku kembali menguap. Kelopak mataku benar-benar terasa berat. Seluruh badanku terasa kaku.

Allahuakbar...Allahuakbar...

AshaduAllah Illa Hailallah...

Suara azan shubuh bergema dari masjid di seberang jalan. Mataku semakin berat, aku menangkupkan kedua tanganku diatas meja untuk menopang kepalaku yang berdenyut. Pelan-pelan kesadaranku terasa menghilang, cerpenku belum selesai diedit. Ceritanya pun belum jelas ingin menyampaikan misi apa. Masih kabur seperti pandanganku yang juga mulai mengabur.

Hayya Alassholah..

Hayya Allafallah..

Qodqo matissholat..Qodqomatissolat..

Asllahuakbar...Allahuakbar...Laiilahaillah...

Suara iqomat terdengar sayup-sayup di telingaku. Dan kemudian hilang dalam alam pikiranku yang terlelap. Subuhku kembali lewat dan cerpenku pun tak tahu nasibnya. Hanya layar komputer yang berkedap-kedip menantikan keyboard kembali dimainkan oleh tuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar